-->

The Power of Symbols F.W. Dillistone

Judul Buku : Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols)
Penulis : F.W Dillistone
Penerjemah : A. Widyamartaya
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
Terbit : 2002, 236 halaman.

Manusia adalah animal symbolicum, demikian Professor Ernst Cassirer, yang menulis seri buku The Phylospohy of Symbolic Forms. Gerak kehidupan kebudayaan, menurutnya, tidak terlepas dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol katakanlah bahasa, penunjuk jalan, lambang-lambang kebangsaan, partai, warna dan yang lain. Simbol karenanya menjadi entitas yang sangat penting dalam berbagai bidang ilmu, filsafat, sosiologi, kesenian dan bahkan budaya massa mutakhir
Keberadaan simbol tampil luar biasa sejak dahulu sampai sekarang. Di masa lalu. Ia menjadi bagian yang terpisahkan dari relasi manusia dengan keberadaan Yang Maha. Hari-hari ini, simbol telah menjadi istilah yang berkali-kali diungkapkan dan digunakan hampir begitu saja dalam dunia iklan, berita, pidato politik, prakiraann cuaca dan analisa ekonomi.
Keberadaan simbol serta kuasa yang dihadirkannya, serta penggunaannya yang makin luas belakangan, telah mendorong F.W Dillistone menulis buku Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols) ini, yang terbit pertama kali tahun 1986. Penjelajahan dilakukannya terhadap karya Cassirer, The Phylosophy of Symbolic Forms, Paul Tillich, Four Quartets- nya TS Elliot dan beberapa penulis lain untuk memahami: apa itu symbol, bagaimana symbol berfungsi, bagaimana hubungan antara perasaan, bentuk, referen?
Buku ini terdiri dari tiga bahasan utama. Bagian pertama (terdiri 3 bab) mendiskuskian keberadaan simbol, serta masing-masing maknanya secara harfiah dan simbolis, serta menampilkan beberapa contoh bentuk-bentuk simbolis.
Keberadaan simbol berkaitan erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial. Salah satu sistem simbol yang penting adalah bahasa manusia. Namun para antropolog sosial juga telah mengajarkan kepada kita tentang gerak-gerik, penanda lain, dan juga gerak tubuih sebagai hal-hal yang mempunyai arti simbolis. (Ketika dalam sebuah sidang istimewa yang ‘mengadili’ presiden, seorang wakil presiden duduk menyamping seolah membelakangi presiden, sebuah pesan simbolis disampaikan dan dimaknai media dan umum: bahwa sang wakil telah ‘meninggalkan’ sang presiden).
Bahasan tentang makna simbol juga menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan tubuh, makanan, tanah, pakaian, terang dan gelap, api dan air serta darah dan kurban. Darah adalah fenomena menarik sebuah simbol yang menjadi jembatan kehidupan dan kematian. Semacam, perjuangan dan pembelaan yang terakhir, yang dalam kasus kita pernah diungkapkan misalnya lewat dukungan tanda tangan darah.
Selain menjelaskan gerak horizontal masyarakat, simbol juga berhubungan erat dengan kekuasaan dan atau Sang Pernguasa. Kasus pengibaran bendera Bintang Kejora (Papua), atau bendera RMS, baru-baru ini menunjukkan bagaimana symbol-simbol dimainkan dengan segala makna dan kuasanya. Atas nama simbol, tidak jarang orang rela mengorbankan dirinya. Lebih jauh, dalam hubungannya dengan Yang Maha, simbol—dalam bahasa Louis Macreice, adalah suatu “tanda tangan imanensi Allah”.
Dalam menghadirkan dirinya, simbol tidak terlepas dari gerak kehidupan manusia. Hanya saja. sebuah simbol melebihi tanda lahir dan terlihat arbriter untuk sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama ide yang disampaikan. Simbol memiliki maknanya sendiri, nilainya sendiri dan kemampuannya sendiri untuk memggerakkan kita. Daya kekuatan simbol adalah pada sifatnya yang emotif, yang merangsang orang untuk bertindak sebagai ciri hakikinya.

Menariknya, sebuah simbol memberikan ruang terbuka bagi publik untuk pemaknaanya. Berbeda dengan totaliarisme, simbol memerlukan keterbukaan-keterbukan penafsiran, dan karenanya menunjuk kepada kemungkinan-kemungkinan alternatif. Ia memberikan ruang bagi penafsiran-penafsiran, kekebebasan dan keterbukaan. Ungkapan-ungkapan simbolis pada dasarnya adalah jalan bagi manusia untuk menuju kekebasan berdaya cipta.
Bagain kedua mengulas secara menarik beberapa teori simbolisme yang menampilkan bahasan para ahli antropologi antropologi social, yakni Raymond Firth, Mary Douglas, Victor Turnerr dan Clifford Geerzt. Bahasan bagian ini juga dilengkapi dengan bahasan para filsouf, teolog dan sejarawan bentuk-bentuk agama, terutama yang berkaitan dengan agama Kristen.
Bagian ketiga membahas perjalanan simbolisme dalam sejarah sosial dan kebudayaan masyarakat. Simbol dalam perkembangan bisa terus memberikan daya hidup tapi juga bisa mati. Salah satu sebab matinya simbol adalah upaya memberikan tafsiran terhadap simbol yang tetap., terbatas dan tidak berubah. Simbol tidak dapat hidup dengan literalisme. Simbol yang terus hidup menyesuaikan, diselaraskan dan ditafsirkan kembali dalam konteks yang baru. Meski demikian, tercipta dan tampilnya simbol-simbol tetap sebuah hal yang misteri

Biografi Singkat Ernst Cassirer dan Pemikirannya Tentang Manusia

                    Manusia adalah mahluk ciptaan Allah SWT yang sempurna, jika dikaji dari sudut pandang agama Islam. Islam menanamkan faham bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang tercipta dari segumpal tanah liat yang diproses oleh Allah SWT sehingga menjadi seorang manusia yang utuh. Sejalan dengan buku seorang filsuf Islam dari Iran Ali Sariati mengatakan bahwa Manusia di ciptakan dari tanah yang suci dan dilengkapi dua potensi yaitu lempung busuk dan roh ilahiyah. Keduanya inilah yang berpotensi melakukan kebaikan dan keburukan. Kajian tentang manusia memang luas, berbagai filsuf mencoba mengkaji tentang manusia. Jika kita beralih ke pemikiran barat tentang manusia maka hadirlah sosok Ernst Cassirer. Bagaimanakah sosok Erns Cassirer dan pemikirannya tentang manusia?

                    Untuk memahami sosok Erns Cassirer saya akan menjelaskan sedikit tentang biografi dan pemimikiran- pemikirannya yang terdapat di  berbagia macam literatur yang berbeda, namun saya hanya fokus pada salah satu bukunya yang berjudul An Essay on Man yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Alois A. Nugroho dengan judul Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia.



Riwayat Singkat Erns Cassirer

                    Ernst Cassirer ( 8174 – 1945 ) berasal dari sekolah Marburg ( penganut Neokantianisme ), tetapi pemikirannya berkembang lebih luas, ahirnya ia melebihi tradisisi Marburg. Oleh Cohen (pendiri aliran Neokantianisme), ia diusulkan sebagai penggantinya di Marburg, tapi Universitas tidak menerima usulan itu. Erns Cassirer adalah seorang yahudi, pada tahun 1993 dia diangkat sebagai profesor pada Yale University oleh penguasa nasional-sosialis. Ia memiliki banyak karya, diantara karyanya yang paling penting adalah Das Erkcnntnisproblem in der Philosophie und Wissencchaft der neuren Zeit (tiga jilid : 1906 -1920) ( Masalah Pengetahuan dalam Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Jaman Modern) dan  Philosphie Der Symbolichen Formen  yang terjemahan inggrisnya berjudul Philosophy Of Symbolic Forms filsafat tentang Bentuk-bentuk simbolis ) yang terdiri dari tiga jilid pula, di sprache (1923) , Das mythische Denken (1925) berupa pemikiran mistis. Phanomenologie der errkenntnis (1929) berupa fenomonologi pengetahuan. Dan karya terahirnya berupa buku yang disingkat dalam buku kecil yang berjudul An Essay of Man (1944) empat puluh dua tahun kemudian barulah terbit versi bahasa Indonesianya.

                    Seudah kematiannya, di terbitkan lagi  The Myth of the State (1946) berupa mitos tentang Negara, suatu keritik tajam tentang Negara totaliter. Dalam  filsafat tentang bentuk simbolis ( Philosophy of Symbolic Form ) Cassirer mencari apa yang menandai manusia dari manusia, dalam perbedaannya dengan makhluk-makhul lain. Ia berfikir bahwa pemecahan bagi persoalan ini harus dicari dalam symbol. Ciri khas manusia ialah bahwa ia merupakan animal symbolicum,.mahluk yang mengerti serta membentuk symbol. Bagi binatang taraf lebih tingginya yaitu hanya tanda saja sedangkan manusia mengenal symbol. Tanda menunjuk ke satu hal saja tetapi symbol bersifat universal.



Pemikirannya tentang Manusia

Pengenalan-Diri Manusia pemikiran tentang hal ini yaitu mengenai  pentingnya pengenalan diri manusia yang ditegaskan olehnya dalam bukunya“…sebagai kewajiban dasar manusia…” (Cassirer 6) dia menegaskan bahwa dalam pengenalan diri menjadi syarat utama untuk realisasi diri dan untuk mereguk kebebasan sejati diwujudkan dalam bentuk sebuah pendekatan dari metode introspeksi. Menurut pehaman saya metode pengenalan diri ini sejalan dengan salah satu firman allah yang berarti “ Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya” proses pengenalan diri memang sangt dibutuhkan untuk memahami makna manusia seutuhnya.  Kodrat manusia; symbol  pemikirannya tentang hal ini adalah disebutkan bahwa secara anatomi, manusia dan binatang sama – sama memiliki Merknetz dan Wirknetz tertentu namun ada satu hal khusus yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki binatang yaitu terdapatnya sistem simbolis. Sistem simbolis pada manusia merupakan hasil analisa pada respon – respon yang diberikan manusia terhadap suatu keadaan. Binatang merespon langsung pada stimulus yang diberikan sementara manusia melalui proses berpikir yang memakan waktu lebih lama dari binatang dan lebih rumit. Untuk memberikan perbedaan binatang dan manusia, cukup jelas  disebutkan bahwa binatang lebih memberikan reaksi sedangkan manusia memberikan respon. Simbol-simbol yang ada dalam kehidupan manusia lainnya adalah adanya bahasa, mite, seni dan agama. “ Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis ini.” (Cassirer 39). Jadi pembeda manusia dengan binatang yaitu manusia memiliki bahasa untuk bercakap, manusia  itu mampu berseni dan manusia beragama dan semuanya itu menjadi symbol bagi manusia bukan bagi binatang.


CONCLUSION

Setiap manusia butuh tahap dimana mereka mampu memahami dirinya sebgai manusia lewat pendekatan intropeksi yaitu berupa pengenal diri, sehinnga melalui pengenalan diri inilah manusia mampu membedakan dirinya dengan mahluk yang lain melalui sebuah symbol. Karena adanya symbol manusia mampu menciptakan suatu dunia cultural, dimana terdapat bahasa mitos dan agama, kesenian dan ilmu pengetahuan. Manusia tidak dapat di artikan sebagai subtansi, tetapi harus dimengerti melalui tingkah lakunya yang fungsional.



WORKS CITED

Cassirer, Ernes. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia. London: Yale UP, 1944. Print.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel